Sabtu, 23 Juli 2016

Pokemon Go Bisa Ditandingi dengan 'Tuyul Go'
Pakar geospasial sarankan RI bikin aplikasi serupa Pokemon Go.

Kekhawatiran sejumlah pihak belakangan ini terhadap permainan Internet Pokemon Go sudah berlebihan. Sebab, teknologi tersebut bukanlah hal baru dan semua tuduhan terkait isu yang berkembang saat ini perlu pembuktian. Demikian menurut seorang peneliti Badan Informasi Geospasial, Profesor Fahmi Amhar.
“Kalau curiga, ya enggak apa-apa karena memang ada orang yang tugas untuk curiga dulu. Tapi apa betul permainan ini seperti itu? Itu harus dibuktikan dan saya selama ini belum lihat ada pembuktiannya,” kata Fahmi saat ditemui VIVA.co.id di ruang kerjanya di Gedung Badan Informasi Geospacial, di Cibinong, Bogor Jawa Barat, Jumat 22 Juli 2016.
Lebih lanjut Fahmi mengimbau untuk memastikan isu yang saat ini beredar terkait ancaman atau bahaya keamanan nasional atas permainan tersebut melalui pembuktian akan dua hal.
“Pertama, apakah benar ada foto realitas yang dikirim ke servernya. Itukan diceknya tidak terlalu sulit. Yang kedua, apa benar monster itu diarahkan atau ditaruh ditempat-tempat objek vital atau strategis? Kalau dua hal ini benar maka dia membahayakan. Tapi kalau monsternya ditaruh ditempat yang acak lalu fotonya tidak pernah ditransfer ke sana, ya tidak perlu dikhawatirkan. Jika terbukti secara teknologi dan (pengembang) Pokemon-nya ndablek, ya tingal diblokir seperti konten porno,” jelasnya.
Namun demikian, Fahmi menilai, anak-anak yang bermain ini secara umum bagus karena mengasah fisik. Pasalnya, mereka diajak keluar rumah untuk menghirup udara segar dan bertemu dengan sesama pemburu.
Terkait boomingnya permainan Pokemon Go, Fahmi menilai hal itu karena game yang disajikan termasuk unik dan masih baru di masyarakat.
“Permainan yang modelnya baru pasti punya saat dimana dia akan booming. Dan permainan Pokemon Go ini kan jenisnya baru karena dia terkait dengan lokasi. Jadi orang harus secara real menuju lokasi tertentu untuk bisa menemukan yang disebut monster,” ujarnya.
Fahmi yakin, jika teknologi yang digunakan dalam permainan tersebut tak jauh berbeda dengan Google Maps karena berbasis lokasi. Game ini terhubung dengan Google Maps dan kerap disebut aplikasi Location Based Service (LBS).
“Itu namanya location based service (LBS). Itu sebenarnya sama dengan kita pakai Google Maps, misalnya kita sampai lokasi tertentu tiba-tiba dapat iklan hotel atau tempat makan tertentu. Itukan karna kita mengaktifkan Google Maps. GPS-nya nyala. Itu yang membuat Google tahu kita dimana dan langsung ditawari lokasi resto terdekat. Bedanya kalau Pokemon Go yang ditawarkan permainan ada monsternya,” jelas Fahmi.
Tuyul vs Pokemon
Teknologi semacama ini kalau di dunia geospasial, lanjut Fahmi, sebenarnya tidak terlalu heboh karena sudah diketahui sejak lama. Namun di Indonesia diketahui pengembangnya sedikit.
“Sebenarnya jika kita manfatkan dengan teknologi yang sama mudah, misalnya kalau ada pengembang software yang cerdas, kita bisa kembangkan permainan seperti ini. Namanya bukan Pokemon-lah, namanya Tuyul Go, atau kuntilanak, pocong atau suster ngesotlah. Ya untuk apa, untuk pariwisata jadi agar orang berkunjung ke tempat-tempat tertentu. Misalnya ditempatkan di Lawang Sewu, nangkep pocong tapi di gadget karena kalau foto beneran susah,” ucap Fahmi sambil tertawa.
Lebih lanjut ia menambahkan bahwa kekhawatiran akan permainan tersebut hendaklah disikapi dengan bijak. Ada baiknya pemerintah membuat kesepakatan dengan pihak Pokemon Go untuk tidak menyebar ‘monster’ di objek vital dan strategis. Jika masih membandel maka Pemerintah bisa memblokirnya seperti situs porno.
“Kalau saya, ya mending ginilah. Saya cenderung ke resolusi teknologi juga. Bikin kompetisi di perguruan tinggi. Bikin permainan seperti ini. Sebenarnya teknologi ini enggak terlalu sulit. Bikinlah yang kaya gini tapi khas Indonesia yang mendidik. Itu yang lebih joss dari pada kita khawatir dengan Yahudi-lah, CIA-lah.” lanjut dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar